Fokus - i

 

REFORMASI TOTAL : REFORMASI OLEH SELURUH RAKYAT

 

Reformasi harus total, agar semua sumber kesengsaraan rakyat dapat dibersihkan. Reformasi total hanya bisa dilakukan dengan partisipasi seluruh rakyat, bukan hanya oleh elit politik.

 

Reformasi macam apakah yang harusnya dilakukan untuk menyelamatkan rakyat dari jurang kesengsaraan yang dibuat oleh rejim Orde Baru ini? Rejim Soeharto beserta aparatus militernya (dalam hal ini Pangab Jend. Wiranto), berusaha membelokkan arah reformasi dengan jargon Òreformasi konstitusional, gradual dan bertahapÓ. Jargon Òreformasi konstitusional, gradual dan bertahapÓ, saat ini masih 100 % dipegang teguh oleh boneka Soeharto, ÒpresidenÓ Habibie.

"Reformasi konstitusional, gradual dan bertahapÓ bukan reformasi, dalam prakteknya. Tetapi, hanyalah tipu muslihat untuk meredakan kemarahan rakyat. Kita ambil saja contoh soal tuntutan agar diadakan sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban dan memecat Soeharto. Tetapi apa yang dilakukan? MPR --juga boneka Soeharto-- diam saja, lalu Soeharto mundur tanpa proses pertanggungjawaban dan bahkan menunjuk penggantinya (Habibie). Apa yang dilakukan Soeharto tersebut tidak lain adalah usaha membelokkan reformasi.

Selain para anthek Soeharto, para politikus elit juga berusaha memanipulasi reformasi untuk tujuan kekuasaan. Mereka tidak menolak reformasi total, namun ÒmengisiÓ tuntutan reformasi total dengan reformasi semu. Jadi reformasi mereka adalah Òreformasi total namun tidak totalÓ. Kelompok ini adalah kelompok oposisi loyal. Oposisi loyal tidak pernah menolak Habibie karena menjadi presiden yang tidak sah dan tidak menolak sistem Orde Baru yang telah menghasilkan penindasan, kesengsaraan serta kebobrokan seperti KKN. Mereka menerima Habibie dengan catatan sebagai Òpresiden transisiÓ. Dan menerima perubahan-perubahan kecil yang sama sekali tidak merubah sistemnya.

Salah satu tuntutan yang mereka serukan terus-menerus adalah penghapusan semua bentuk KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), tanpa berusaha merombak sistem ekonomi-politiknya. Padahal sumber dari sumber KKN adalah sistem ekonomi-politik. KKN lahir dari sistem politik yang tidak demokratis dan sistem ekonomi kapitalisme-kroni. Usaha menghapus KKN akan sia-sia jika sistem ekonomi-politik yang dipakai masih memberi peluang untuk KKN.

Kelopok oposisi loyal menolak kekejaman dan dominasi politik ABRI, tetapi tidak pernah mengkritik Dwi Fungsi ABRI yang merupakan sumbernya. Demokrasi modern tidak memberi tempat bagi militer untuk berpolitik. Dalam Trias Politica (pembagian kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) tidak memberi posisi bagi militer. Sebab. militer harus tunduk pada sipil, sipil lah pemegang ketiga kekuasaan politik tersebut. Mereka tidak mengotak-atik Dwi Fungsi ABRI karena, melihat ABRI masih kuat, sehingga apabila Dwi Fungsi ABRI diusik, ABRI akan bertindak reaksioner. Dengan alasan ini, mereka bersikap kompromis: tidak menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI, namun menuntut pengurangan dominasi ABRI. Sikap ini mereka anggap sebagai tatik yang tepat.

Apakah taktik seperti itu tepat? Selama masih diberi kesempatan bergerak diluar wewenangnya (sosial,politik, ekonomi, dll.), ABRI akan selalu mengakumulasi kekuatan. Kekuasaan ABRI yang ada saat ini lahir dari kemenangan kecil, yaitu saat diberi berhasil merebut perusahaan-perusahaan milik penjajah (yang tadinya telah dikelola kaum buruh). Dengan merebut pabrik-pabrik dari kaum buruh itu, para perwira mengumpulkan modal, yang selanjutnya dikembangkan menjadi basis kekuatan politiknya. Jadi, kesempatan bergerak di luar bidangnya selalu digunakan militer untuk menjarah lahan dunia sipil. Inilah bahayanya jika pemegang senjata tidak tunduk pada sipil.

Namun ada juga yang menerima Dwi Fungsi ABRI bukan karena taktis, tapi karena terilusi (terkecoh) oleh demagogi ÒABRI adalah Tentara RakyatÓ. Memang, dalam sejarah, ABRI lahir dari perjuangan melawan penjajah. ABRI lahir dari kelompok-kelompok gerilyawan, yang semua itu adalah rakyat (sipil). Namun, pada tahun 1948 telah dilakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) dalam tubuh angkatan bersenjata. Dengan program RERA itu, elemen kerakyatan dalam tubuh angkatan bersenjata hilang, sebab para gerilyawan dibersihkan dari tubuh ABRI (dilucuti). Sehingga ABRI dikuasai oleh elemen tentara borjuis, yaitu para bekas KNIL (tentara pribumi buatan penjajah Belanda) dan PETA (tentara pribumi buatan fasis Jepang). Dengan demikian, sejak 1948, ABRI sudah tidak bisa lagi disebut sebagai Òtentara rakyatÓ.

Cara pandang yang salah terhadap ABRI ini telah membawa kegagalan dalam perjuangan merebut demokrasi. Salah satu hal yang menyebabkan kegagalan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah karena para pimpinan PKI terilusi bahwa ABRI masih merupakan tentara rakyat, yang mana sebagian besar prajurit adalah anak kaum tani. PKI lupa, bahwa ABRI telah dikooptasi kaum tentara borjuis. Kegagalan gerakan mahasiswa 1966, salah satu sebabnya adalah juga karena masih terilusi bahwa ABRI akan mendukung gerakan menegakkan demokrasi. Tetapi, kenyataannya justru mahasiswa diperalat tentara untuk mendirikan rejim Orde Baru yang otoriter. Gerakan mahasiswa tahun 1974 juga gagal karena masih terilusi bahwa ada faksi tentara yang demokratis, sehingga mahasiswa berkolaborasi dengan salah satu faksi dalam tubuh tentara.

Kelompok oposisi loyal tidak tegas dalam menolak paket 5 UU politik. Rejim Orde Baru, karena terdesak, hanya akan merevisi beberapa UU saja, antara lain UU kepartaian. Tapi para oposisi loyal seolah-olah puas dengan ini. Padahal, selama 5 UU Politik belum di cabut, tidak ada maknanya.

Jadi, sebenarnya kaum oposisi loyal tidak memperjuangkan reformasi yang benar-benar total, namun hanya mendesak agar rejim memberikan konsesi-konsesi (sogokan) demokratis. Konsesi-konsesi demokratis memang memberi ruang gerak yang lebih bebas, tetapi tidak pernah menghancurkan sistem yang menindas. Selama sistemnya masih otoriter, konsesi-konsesi tersebut dapat dicabut lagi, sementara rakyat sudah tertidur pulas dan rejim sudah menyusun kekuatan lagi.

 

Reformasi Damai

Militer selalu mengatakan seolah-olah reformasi total itu sama dengan kerusuhan, pembakaran dan penjarahan. Dengan demikian, rakyat menjadi tidak simpati dengan reformasi total. Akibatnya, muncul pertentangan konsep antara Reformasi Damai dengan Reformasi Total.

Reformasi Total sesungguhnya tidak bertentangan dengan reformasi damai. Reformasi total pun harus dilakukan dengan damai. Namun damai di sini dalam arti tanpa pertumpahan darah. Sebab, kata damai, lebih cenderung bermakna ÒkompromiÓ, ÒkooperatifÓ atau tidak konfrontatif. Sehingga, kata Òreformasi damaiÓ dapat menyelewengkan makna reformasi.

Reformasi tanpa pertumpahan darah, bukan berarti mengharamkan aksi massa. Retorika Òreformasi damaiÓ versi rejim bertujuan untuk menentang aksi massa. Rejim selalu menyamakan aksi massa dengan kerusuhan. Padahal itu bohong. Di daerah-daerah, seperti Semarang, Malang, Yogya, dll. aksi massa mahasiswa dan rakyat dapat dilakukan dengan tanpa kerusuhan.

 

Pelaku Reformasi

Siapa pelaku reformasi total? Reformasi total tidak akan dilakukan oleh Habibie dan tidak mungkin dilakukan oleh para elit oposisi saja. Namun reformasi total mutlak harus dilakukan oleh seluruh rakyat dari ibu kota sampai desa-desa di 26 propinsi. Reformasi yang tidak melibatkan rakyat, melaiankan hanya dilakukan oleh segelintir elit politik, tidak akan berhasil. Mungkin saja reformasi semacam itu berjalan, namun hasilnya tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Sehingga, hasilnya bukan reformasi total.

Reformasi yang benar-benar total tidak mungkin terlaksana tanpa peranserta seluruh rakyat. Sebab, reformasi total adalah merombak sistem Orde Baru yang sudah bobrok. Sistem Orde Baru tidak hanya menyangkut masalah-masalah nasional, namun menyangkut juga masalah-masalah di semua tingkat dari kampung sampai nasional. Sehinggga, tanpa keterlibatan seluruh rakyat, reformasi total tidak mungkin berjalan.

Keterlibatan rakyat sangat vital diperlukan dalam membentuk Dewan-Dewan Rakyat sebagi pemerintahan sementara yang benar-benar pemerintahan rakyat. Dewan rakyat tidak hanya ada di ibu kota, tapi ada juga di seluruh kelurahan-kelurahan. Tanpa keterlibatan rakyat dalam membentuk pemerintahan sementara ini, pemerintahan sementara yang terbentuk akan jauh dari amanat rakyat.

Aksi Massa adalah Kunci

Gerakan massa mahasiswa dan rakyat telah berhasil mendorong maju gerakan demokratisasi lewat program reformasi total. Aksi-aksi massa tersebut telah berhasil memaksa Soeharto meletakkan jabatan, menyempitkn ruang gerak militer, mendorong tokoh-tokoh moderat untuk berani bersikap dan mendorong keberanian rakyat untuk melawan pemerintahan Soeharto. Singkatnya, aksi massa telah berhasil mendobrak pintu kebebasan. Walaupun kebebasan yang sudah dicapai baru kebebasan semu dan sementara.

Kebebasan saat ini masih semu dan sementara, sebab kebebasan tersebut belum dilindungi oleh sistem politik yang demokratis. Dengan demikian, posisi penguasa beserta aparatnya masih kuat. Dalam kondisi seperti ini, penguasa bisa saja sewaktu-waktu merenggut kebebasan tersebut, sehingga melahirkan gerakan counter aksi.

Namun, walaupun kebebasan ini sifatnya masih sementara, terbukti sangat bermanfaat bagi demokratisasi. Kebebasan yang sifatnya semu dan sementara ini digunakan oleh para oposisi untuk berbicara. Koran-koran memanfaatkannya untuk memberitakan fakta-fakta yang pada massa sebelumnya tidak bisa diberitakan. Rakyat memanfaatkan untuk menjual terbitan alternatif dan fotokopy daftar kebusukan keluarga Soeharto, Harmoko, Habibie, dan pejabat lain.

Aksi-aksi massa selalu membatasi ruang gerak penguasa berikut militernya. Namun, apabila aksi massa reda, kekuatan pro-Soeharto akan kembali melakukan serangan balik untuk mengerem gerakan reformasi. Aksi massa juga berguna untuk menggalang dukungan rakyat yang lebih luas.

Aksi-aksi massa, terutama di daerah-daerah masih terus berlangsung. Mahasiswa dan rakyat menduduki kantor DPRD masing-masing. Aksi-aksi ini akan semakin menguat apabila diperluas sampai ke tingkat kecamatan dan keluarahan. ***

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi] [ke halaman berikut]