Fokus - iii

 

PEMERINTAHAN TRANSISI YANG SEPERTI APA?

Oleh Edwin Gozal

 

Sebelum Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, Amien Rais (Ketua Muhammadiyah), mengatakan bahwa "semacam Dewan Rakyat" baru, yaitu Majelis Amanat Rakyat (MARA), yang beranggotakan 50 orang, yang dia ikut berperan membentuknya, sedang mempertimbangkan untuk membentuk sebuah kepemimpinan kolektif untuk menggantikan presiden. Kendati Dewan ini terdiri dari tokoh-tokoh kritis yang cukup menonjol di Indonesia, dan mereka menyatakan bahwa Majelis ini dimaksudkan untuk memecahkan persoalan krisis ekonomi dan politik, namun komitmen mereka bagi demokrasi sejati patut dipertanyakan.

Ide tentang perlunya Dewan Rakyat yang kemudian akan menjadi sebuah pemerintahan transisi (peralihan) untuk membangun kembali struktur-struktur sosial-ekonomi dan politik di Indonesia adalah ide yang baik. Kita tidak mungkin bergantung pada bagian manapun dari rejim Orde Baru yang korup untuk melakukan restrukturisasi ini. Baik DPR maupun MPR bukanlah lembaga yang berpihak pada kepentingan rakyat.

Akan tetapi, apakah Majelis ini memiliki program yang jelas untuk reformasi ekonomi dan politik? Seruan Majelis tersebut -- kepada Soeharto untuk mengundurkan diri, kepada militer untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap rakyat, kepada mahasiswa, pemuda dan rakyat kebanyakan untuk tetap tenang-- tidaklah memunculkan sebuah program politik yang akan menjamin demokratisasi.

Majelis tersebut tidak mengambil posisi yang jelas mengenai penghapusan campur tangan militer dalam urusan sipil atau pencabutan Paket 5 UU politik 1985. Majelis ini juga tidak memiliki visi yang jelas tentang nasib kelas pekerja, atau pun mengutuk rencana-rencana jahat berkedok "bantuan dana" dari IMF. Dewan ini pun tidak pernah menyerukan semua birokrat dari rejim Orde Baru untuk mengundurkan diri.

Tidak akan ada demokrasi selama yang terjadi hanyalah penggantian Soeharto dari kursi kepresidenan. Tidak akan ada demokrasi selama birokrasi korup rejim Orde Baru tetap hidup.

Amien Rais bahkan menggantungkan harapan pada ABRI. Di Masjid Al Azhar, Jakarta pada tanggal15 Mei, dia mengatakan: ÒHarapan-harapan kita bergantung pada ABRI yang memiliki misi yang jelas. ABRI masih memiliki keterpanggilan tugas yang mengemban misi, karena mereka setia pada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.Ó

Justeru karena berdasarkan sumpah inilah tentara Indonesia membantai jutaan rakyat pada kudeta berdarah tahun 1965, masih melakukan pendudukan terhadap Timor Leste, dan terlibat dalam terorisme negara sepanjang 1980-an (mayoritas korbannya adalah kaum Muslim -Red) serta penangkapan, penyiksaan, bahkan penembakan pada kebangkitan mahasiswa dan rakyat umum baru-baru ini.

Jika kita melihat pada figur-figur yang diajak menjadi anggota dalam majelis ini, kebanyakan adalah tokoh-tokoh yang punya kaitan dengan rejim Orde Baru. Termasuk diantaranya adalah Arifin Panigoro, anggota Golkar yang cukup menonjol; Frans Seda, Menteri Keuangan yang terdahulu; Muhammad Sadli, Penasehat ekonomi Soeharto yang terdahulu; Emil Salim, penasehat ekonomi Soeharto yang terdahulu dan mantan Menteri Lingkungan Hidup. Orang-orang tersebut masih mewakili kelas yang berkuasa. Mereka tidak akan mendesakkan program-program yang pro-rakyat, melainkan akan mempertahankan sistem Orde Baru yang korup.

Posisi yang sama diambil oleh PIJAR, sebuah kelompok mahasiswa di Jakarta yang cukup radikal. Proposal mereka yang menyebut ÒSebuah Pemerintahan Transisi Indonesia 1998-2000Ó, telah diterbitkan dalam Inside Indonesia edisi terbaru.

Kriteria yang mereka tetapkan untuk duduk dalam pemerintahan transisi ini adalah tokoh-tokoh yang telah terbukti komitmen sosialnya serta para aktivis muda. Proposal ini adalah satu langkah maju menuju demokratisasi, yaitu bahwa kekuasan harus diserahkan ke tangan rakyat.

Namun sayangnya, PIJAR ingin mempertahankan banyak hal dari sistem yang lama, termasuk mengusulkan nama Abdurrahman Wahid sebagai Ketua MPR dan Mudrick Sangidoe sebagai Ketua DPR. Pemerintahan transisi yang diajukan juga meliputi tokoh-tokoh Orde Baru seperti mantan Wapres Try Sutrisno, mantan Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad, Menteri Lingkungan Hidup yang terdahulu Sarwono Kusumaatmadja, dan Pangab Jendral Wiranto. Sangat sulit membayangkan bahwa orang-orang ini akan memperjuangkan demokrasi mengingat dulu ketika di pemerintahan, mereka tidak pernah membela nilai-nilai demokrasi.

Dalam proposal mereka tentang pemerintahan transisi, PIJAR juga memasukkan tokoh-tokoh dari ICMI seperti Adi Sasono, dari PDI (nasionalis-sekuler) seperti Kwik Kian Gie dan Laksamana Sukardi, serta dari kalangan tokoh-tokoh kritis seperti Mulya Lubis, Sri Bintang Pamungkas (PUDI) dan Permadi.

Apakah seluruh rakyat Indonesia cukup terwakili oleh tokoh-tokoh dari lapisan-lapisan ini? Bagaimana dengan kelas pekerja, kaum miskin perkotaan dan mahasiswa? Jika pemerintahan transisi hanya didasarkan pada sebagian kecil masyarakat, maka ia tidak akan menjadi perwakilan rakyat yang sejati.

PRD menyerukan dibentuknya sebuah Dewan Rakyat, namun dewan ini haruslah betul-betul merupakan perwakilan rakyat yang sejati, mulai dari tingkat pedesaan sampai tingkat nasional. Dewan ini juga harus terdiri dari wakil-wakil yang dipercaya rakyat, dan yang akan memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran.

Dewan ini harus memasukkan wakil-wakil dari semua sektor ekonomi dan profesi, partai-partai politik dan ormas-ormas independen yang betul-betul mau berjuang untuk rakyat dan demokrasi. Dewan ini juga harus memasukkan tokoh-tokoh oposisi, termasuk yang kini masih berada dalam penjara Soeharto karena perjuangan mereka melawan kediktatoran, seperti Budiman Sujatmiko, Ketua PRD; Dita Indah Sari, Ketua Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI); Sri Bintang Pamungkas, Ketua Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), serta Muchtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI).

Dewan ini harus memiliki komitmen yang tegas untuk :

Dewan ini harus menyerukan ditegakkannya keadilan, yaitu: Soeharto, keluarga, dan kroni bisnisnya harus ditangkap dan diadili atas dosa-dosa kejahatan mereka. Dewan ini juga harus menasionalisasi semua kekayaan Soeharto, keluarga, kerabat, dan kroni bisnisnya.

[Edwin Gozal adalah Koordinator Komite Persiapan Legalisasi Partai Rakyat Demokratik / KEPAL- PRD)

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi] [ke halaman berikut]