Fokus - iv

 

DEWAN PEMERINTAHAN KOALISI DEMOKRATIK, JAWABNYA

 

Soeharto menunjuk Habibie sebagai penggantinya. Walaupun tidak syah, Amien Rais cs menerima ÒpemerintahanÓ Habibie dengan catatan sebagai pemerintahan transisi. Ini semua hanya akal-akalan elit politik!

 

Karena terdesak massa, tanggal 21 Mei lalu Soeharto memilih turun. Namun kegembiraan rakyat hanya beberapa menit saja. Karena, pada saat yang bersamaan, Soeharto telah memilih salah seorang anggota klik gerombolannya untuk mengganti posisi dia. Siapa dia? Tidak lain adalah Habibie. Sebagian besar rakyat tidak puas, para mahasiswa tetap menduduki gedung DPR/MPR. Tapi Amien Rais, seorang figur yang sering disorot oleh koran dan TV, seolah-olah sebagai ÒpemimpinÓ gerakan reformasi, mempunyai sikap mendua. Ia menerima Habibie dengan catatan ÒpemerintahanÓ Habibie tersebut adalah pemerintahan sementara (pemerintahan transisi).

Pada kesempatan lain, Amien Rais juga mengatakan bahwa sebelum pemilu terselenggara, ÒpemerintahanÓ Habibie harus segera menyiapkan perangkat UU Politik guna menyelenggarakan pemilihan umum secepat-cepatnya. Amien menambahkan, sekarang ini rakyak melihat kepemimpinan Presiden Habibie adalah sebagai presiden masa peralihan untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan politik, serta mempersiapkan anggota dan pimpinan DPR/MPR yang benar-benar dipilih rakyat. ''Dan bukan ditunjuk dari atas seperti sekarang yang menyebabkan pimpinan kehilangan legitimasi,'' katanya.

Sikap Amien tersebut jelas mendua atau tidak konsisten. Amien tahu bahwa penunjukkan Habibie sebagai presiden adalah tidak demokratis, tidak sah dan melanggar tata krama politik. Dari segi moral, jelas merupakan korupsi politik. Tapi mengapa menerima Habibie sebagai ÒpemerintahanÓ transisi?

Walaupun ÒhanyaÓ sebagai pemerintahan transisi, tidak ada alasan untuk menyetujui Habibie. Sebab, pemerintahan transisi tersebut mempunyai peranan yang strategis, yaitu menyiapkan landasan bagi pemilu untuk membentuk pemerintahan permanen. Kalau pemerintahan transisi tersebut dibuat dan dipegang secara tidak demokratis --lebih-lebih oleh klik Soeharto sendiri--, mustahil pemerintahan permanen yang dibentuk nantinya akan demokratis dan pro-rakyat.

Sedikit berbeda dengan Amien Rais, Arief Budiman, dalam surat terbukanya yang dimuat oleh SiaR, menawarkan jalan keluar yang justeru membahayakan demokrasi. Arief tidak setuju terhadap Habibie, tapi Arief menawarkan agar dibentuk pemerintahan sementara yang dipegang oleh sebuah presidium. Presidium tersebut dipegang oleh triad (tiga serangkai-Red), yaitu: militer yang dihormati dan tidak dekat dengan Soeharto (untuk menjaga stabilitas), tehnokrat yang dipercaya oleh pengusaha nasional, investor asing dan IMF/Bank Dunia serta pimpinan sipil yang terbukti terampil memimpin massa. Untuk tokoh militer, Arief menawarkan tiga nama: Kemal Idris, Edi Sudrajat atau Try Sutrisno. Tokoh tehnokratnya adalah Emil Salim atau Wijoyo Nitisastro. Sedangkan tokoh masyarakatnya adalah Amien Rais, atau Gus Dur atau Megawati.

Bentuk presidium seperti yang ditawarkan Arief Budiman tersebut jelas sekali sangat elitis dan tidak menyentuh aspirasi rakyat. Apalagi Arief tidak menjelaskan, siapa yang akan mengangkat preisidium tersebut. Berarti pemerintahan transisi yang ditawarkan Arief ini tidak merakyat. Padahal pemerintahan sementara yang tidak dikontrol oleh rakyat memberi peluang lahirnya diktator baru.

Dimasukkannya militer semakin membahayakan demokrasi. Sebab, dalam demokrasi, militer tidak boleh berpolitik. Pemegang senjata dalam berpolitik selalu menggunakan kekerasan untuk menindas lawan politiknya. Sejarah membuktikan. munculnya kediktatoran Orde Baru adalah akibat tentara diberi kesempatan berpolitik lewat konsep ÒJalan TengahÓ (dibuat AH. Nasution). Oleh Soeharto, konsep Jalan Tengah dijafikan ÒDwi Fungsi ABRIÓ.

Alasan dimasukkannya tokoh militer untuk menjaga stabilitas, bukan alasan yang kuat. Pertama, sumber kekacauan adalah kemisikinan, ketidakadilan dan penindasan. Jadi kalau ingin menciptakan stabilitas bukan dengan militerisme, tapi dengan mensejahjerakan rakyat, membangun keadilan dan demokrasi. Stbalitas tidak bisa diciptakan tanpa dukungan rakyat. Apabila militer ikut memegang pemerintahan sementara, sama saja kita memberi peluang pemerintahan sementara untuk melakukan tindakan militerisme dengan alasan demi stabilitas. Kedua, nama-nama militer yang diusulkan Arief adalah militer yang sudah tidak menjabat. Lalu apa maknanya? Bagaimana mereka menjamin stabilitas, sementara tidak punya wewenang?

Jadi, dimasukkannya unsur militer dalam pemerintahan sementara adalah tidak didasari alasan yang kuat.

Arief Budiman juga salah menilai siapa itu tokoh Òyang terampil memimpin massaÓ. Salah satu yang disebut adalah Amien Rais. Apakah Amien adalah pemimpin massa? Amien hanyalah seorang figur yang banyak disorot koran dan tv, karena tampil didepan ribuan mahasiswa yang melakukan aksi. Apakah Amien yang menggerakkan mereka? Jelas bukan. Mahasiswa yang melakukan aksi tersebut diorganisir para aktivis mahasiswa sendiri. Mula-mula mereka hanya diikuti puluhan orang saja, lama-kelamanaan meningkat menjadi ratusan, lalu ribuan, hingga ratusan ribu bahkan sampai lebih dari satu juta. Tapi kebanyakan aktivis tersebut tidak dikenal.

Apakah Gus Dur juga memobilisasi massa? Sama sekali juga tidak. Bagaimana dengan Megawati? Megawati memang mempunyai banyak massa pendukung, tapi tidak menunjukkan kepemimpinan selam aksi-aksi menjelang hingga jatuhnya Soeharto.

Kita harus hati-hati dalam menilai figur. Orang yang banyak diliput media massa belum tentu merakyat. Pemimpin massa sejati adalah lahir dari gerakan massa itu sendiri, bukan hasil rekayasa. Apalagi pada situasi saat ini, banyak orang yang tadinya penjilat, tiba-tiba sangat pandai bicara soal reformasi dan demokrasi.

Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya mempercayai satu atau dua orang tokoh terkenal untuk memimpin pemerintahan transisi. Bisa saja tokoh tersebut dahulunya kelihat pro-rakyat, tapi setelah berkuasa menjadi menindas rakyat. Ada pepatah mengatakan "power tends to corruptÓ (kekuasaan cenderung korup).

Untuk mencegah lahirnya diktator baru, pemerintahan transisi harus dibentuk dan dikontrol langsug oleh rakyat. Caranya adalah dengan membentuk Dewan-dewan Pembebasan Rakyat (DPR) yang bertingkat dari nasional sampai tingkat kelurahan. Semua ini dibentuk oleh rakyat. Dewan Pembebasan Rakyat ini berfungsi sebagai legislatif, yaitu membentuk dan mengontrol pemerintahan sementara.

Sedangkan pemerintahan sementara dipegang oleh sebuah Dewan, jadi bukan satu atau dua orang. Dewan tersebut adalah Dewan Pemerintahan Koalisi Demokratik (DPKD). Dewan Pemerintahan Koalisi Demokratik ini merupakan koalisi (gabungan) dari semua kekuatan politik di Indonesia, tidak ada diskriminasi (penganaktirian) atas dasar apapun juga.

Inilah pemerintahan transisi yang benar-benar merupakan pemerintahan rakyat. Hanya pemerintahan yang kerakyatan lah yang mampu menyelamatkan rakyat Indonesia dari penderitaan yang panjang.***

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi] [ke halaman berikut]