Fokus - vii

 

MENJAWAB SURAT ARIEF BUDIMAN

 

Tanggal 25 Mei kemarin, SiaR memuat surat Arief Budiman, seorang intelektual legendaris Indonesia yang kini mengajar di Melbourne. SiaR memberi judul posting tersebut dengan "Surat Arief Budiman dalam Menyikapi Masa Peralihan". Dalam surat itu Arief membahas sesuatu yang paling penting pada bulan-bulan ini, yaitu: pemerintahan peralihan.

Arief mengusulkan sebuah solusi tentang pemerintah peralihan yang dipimpin sebuah presidium dengan unsur:

  1. Militer, untuk menjaga stabilitas politik, dengan figur yang tidak dekat dengan Soeharto dan dihormati.
  2. Teknokrat Ekonomi yang dihormati pengusaha dalam negeri dan investor asing untuk memulihkan kepercayaan.
  3. Unsur masyarakat sipil, yang dalam massa perjuangan reformasi menunjukkan ketrampilan untuk memimpin dan mendapat kepercayaan massa, untuk memulihkan demokrasi.

Secara umum, solusi yang ditawarkan oleh Arief tersebut sangat elitis.

Pertama, pilihan sebuah presidium --dan bukan sebuah dewan-- sebagai pemegang pemerintahan transisi. Kita tahu, sebuah presidum bekerja secara up-down. Lain dengan dewan bekerja berdasarkan aspirasi dari bawah. Presidum terkesan hanya representasi dari golongan-golangan yang ada, bukan representasi dari rakyat, yang merupakan kekuatan riil yang selama ini mendesakkan reformasi. Lebih-lebih, hanya 3 golongan yang terwakilkan dalam presidium tersebut.

Kedua, melihat unsur-unsur yang diusulkan oleh Arief, semakin yakin lah kita bahwa pemerintahan peralihan tersebut bersifat sangat elitis. Apalagi Arief tidak merinci bagaimana unsur-unsur tersebut dipilih. Nampaknya dengan cara ditunjuk atau didaulat, tapi siapa yang berwenang mendaulat?

Apakah kita mengesahkan pemerintahan transisional boleh bersifat tidak demokratis, dengan alasan sifatnya yang sementara? Apakah bukan sebaliknya, oleh karena sifatnya yang transisional itulah, maka pemerintahan tersebut harus se-demokratis mungkin, karena ini merupakan tahap yang sangat kritis untuk menuju pemerintahan yang permanen. Pemerintahan sementara yang bersifat elitis, jelas tidak akan menjamin pemerintahan permanen berikutnya bersifat demokratis, sekalipun dipegang oleh figur-figur yang selama ini dikenal luas sebagai demokrat. Sebab, masalah demokrasi lebih tergantung pada sistem, bukan person-person yang menjalankan pemerintah. Sistem yang demokratis, bisa memaksa seorang yang berwatak otokrat tunduk pada norma-norma demokrasi. Sedang sistem yang otoriter, akan memberi peluang seorang penguasa demokrat untuk menyeleweng menjadi otokrat. Ingat, Bung, "power tends to corrupt !"

 

MASALAH MILITER

Tumpahnya massa beberapa bulan terakhir hingga memaksa Soeharto melepaskan jabatannya, tidak pernah ada dukungan dari militer. Tidak ada, misalnya seperti di Philipina tahun 1986 lalu, ada perwira yang secara perwira membelot dan mendukung oposisi, lalu pasukannya melindungi dan melapangkan jalan para demonstran. Tanpa dukungan (bahkan dengan represi) ABRI, jutaan massa bisa dimobilisasi, dan ABRI dapat berbuat apa?

Saat ini kita harus bersikap tegas, bahwa demokrasi modern tidak memberi tempat bagi militer untuk berpolitik. Militer harus tunduk kepada sipil.

Alasan bahwa unsur militer --yang bagi Arief dianggap begitu penting hingga diletakkan di point pertama-- dengan tujuan untuk menjaga stabilitas politik, menunjukkan bahwa kita masih terhegemoni oleh logika Orde Baru. Benar fungsi militer adalah untuk menjaga stabilitas, tapi dia tetap tidak boleh berpolitik.

Selama ini membuktikan, bahwa destabilitas yang terjadi --berupa kerusuhan-kerusuhan-- disebabkan oleh ketidakpuasan massa-rakyat, dan ini terjadi pada saat militer sepenuhnya mendominasi politik. Peranan militer dalam politik tidak mampu mengatasi destabilitas tersebut. Sebab, satu-satunya cara mengatasinya adalah memberi saluran aspirasi rakyat dengan demokrasi yang sebebas-bebasnya.

Bahkan, lagi kerusuhan-kerusuhan tersebut dipicu oleh tindak-tanduk militer. kerusuhan 27 Juli 1996, dipicu oleh penyerbuan militer dan preman bayaran terhadap kantor DPP PDI. Kerusuhan 14 Mei, dipicu oleh kekejian militer menembak 6 pahlawan reformsi. Bentrokan-bentrokan militer dengan mahasiswa, disebabkan militer menggebugi mereka. Aksi tanggal 14 Mei --bersamaan waktu dengan yang di Jakarta-- di Semarang dan Surabaya, berlangsung tertib. Sebab militer tidak bersikap brutal terhadap mahasiswa yang bersama rakyat melakukan longmarch, bahkan menduduki RRI. Tidak ada provokasi militer, tidak ada kerusuhan. Ada provokasi militer, ada kerusuhan.

Satu hal yang sangat bahaya dari logika Bung Arief pada poin ini adalah: Pertama, memberi legitimasi tindakan militerisme dengan alasan stabilitas. Kedua, memberi legitimasi penundaan pemilihan umum dengan alasan belum ada stabilitas, hal ini diperkuat oleh pernyataan Arief pada poin 4 : "Kalau semuanya sudah beres, baru diadakan Pemilihan Umum...". Sampai kapan "semuanya akan beres" ?

 

MASALAH TOKOH SIPIL

Unsur terakhir dari presidium versi Arief tersebut adalah unsur masyarakat, yakni pemimpin sipil yang dalam gerakan reformasi ini menunjukkan keterampilannya untuk memimpin dan mendapat kepercayaan dari massa....

Nampaknya Bung Arief mencampuradukkan antara figur "yang mampu memimpin massa" dengan figur yang diekspose luas oleh media massa pada saat-saat penumpahan massa. Siapa pemimpin massa? Siapa yang menggerakkan mereka ? Amien Rais, atau Megawati atau Gus Dur? Atau bukan para aktivis yang dengan tertatif-tatih memulai dari aksi yang jumlahnya puluhan orang, meningkat menjadi ratusan, lalu menjadi ribuan, lalu menjadi puluhan ribu dan seterusnya? Aktivis ini jumlahnya banyak, dan mereka tidak terekspose luas oleh media massa.

Dan massa siapa yang tumpah di jalan-jalan? Mereka anggota dari organisasi atau kelompok apa? Bukankah sebagian besar mereka adalah floating-mass, yang tidak punya kelompok. Dan mereka --terutama Jakarta-- tidak terpimpin, hingga tak tahu arah dan mudah diprovoksi menjadi kerusuhan. Adakah Amien Rais dapat mengarahkan mereka untuk melakukan aksi secara tertib, berbaris menuju DPR atau Istana atau RRI? Atau Mega atau Gus Dur atau figur-figur yang lain?

Lalu siapa yang berhak mewakili mereka dalam pemerintahan transisi ini?

Bagi saya, rakyat yang harus memilihnya. Caranya adalah membentuk dewan-dewan rakyat dari tingkat terendah (mungkin kampung, kampus, pabrik, kantor dll), lalu dipilih di tigkat lebih atas dan seterusnya sampai tingkat nasional. Dengan demikian, pemimpin sejati akan muncul, yaitu pemimpin yang benar-benar representasi dari bawah.

 

PENUTUP

Pemerintahan transisi yang dibentuk secara elitis, apalagi menyertakan militer, sangat membahayakan demokrasi, sebab memberi peluang lahirnya pemerintah otoriter baru.

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi] [ke halaman berikut]