Mimbar - i

 

BEBASKAN SEMUA TAPOL !

Oleh: Max Lane

 

Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa sejak bulan Februari sampai Mei 1998 dan gelombang kerusuhan di Jakarta, khususnya pada 14-15 Mei yang memaksa mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan, telah merintis sebuah proses dari yang semula hanya setengah keterbukaan menuju revolusi demokratik sepenuh-penuhnya.

Dalam hari-hari sejak kemunduran dia, kemapanan politik Orde Baru-nya Soeharto terpaksa bekerja keras untuk memastikan agar apa yang namanya ÒreformasiÓ tetap berada di bawah kendali mereka. Pemerintahan Habibie dan kepemimpinan parlementer Golkar yang didukung ABRI selalu berupaya dalam berbagai kesempatan untuk menjauhkan inisiatif reformasi tersebut dari tangan oposisi demokratik, terutama oposisi mahasiswa.

Menteri Kehakiman Muladi memulai proses itu dengan mengeluarkan pernyataan tentang pembebasan tahanan politik (tapol), tapi ternyata hanya tujuh tapol yang sejauh ini telah dibebaskan. Ketujuh tapol tersebut berasal dari kelompok-kelompok politik yang bukan merupakan ancaman serius bagi rejim. Sri Bintang Pamungkas, Ketua Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), dan Muchtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) adalah yang mula-mula dibebaskan, kemudian menyusul Nuku Sulaiman dari PIJAR, Andi Syahputra dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan tiga aktivis perempuan dari Suara Ibu Peduli (SIP).

Sampai saat ini, tidak ada sinyal-sinyal bahwa rejim akan membebaskan para tapol dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), gerakan pembebasan Timor-Timur, atau pun tapol yang berasal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun demikian, tuntutan untuk pembebasan semua tapol semakin meningkat.

Sebuah statemen yang ditandatangani 22 tapol di Penjara Cipinang dan dibacakan oleh Andi Syahputra dan Nuku Sulaiman ketika mereka dilepaskan pada tanggal 28 Mei menyatakan: ÒAmnesti ini adalah sebuah upaya diplomatik internasional Habibie yang tidak betul-betul menyentuh persoalan Hak Asasi Manusia (HAM)...karena ia tidak menyertakan para tapol eks anggota PKI dan tapol Gerakan Pembebasan Timor-Timur seperti Xanana Gusmao.Ó

Andi Syahputra mengatakan kepada para wartawan diluar penjara bahwa dirinya dan Nuku Sulaiman merupakan Òkomoditi yang sedang digunakan oleh rejim Habibie untuk memastikan agar dana dari masyarakat internasional mengalir ke Indonesia. Saya akan terus berjuang sampai semua tapol dibebaskan.Ó

Menjadi jelas bahwa taktik rejim dengan secara selektif membebaskan para tapol dimaksudkan untuk memperlemah gerakan mahasiswa yang akhir-akhir ini menjadi radikal dan terus berjuang untuk mempertahankan tuntutan mereka yang tidak mau berkompromi dengan rejim, dalam rangka kampanye bagi perjuangan demokrasi. Taktik ini juga dimaksudkan untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berusaha membangun suatu konsensus tentang perlunya Òoposisi loyalÓ -- yaitu oposisi yang menerima bahwa rejim Habibie, dengan Soeharto masih berada di belakangnya, adalah yang berhak memimpin proses ÒreformasiÓ.

 

Pemilihan Umum (Pemilu)

Sekarang ini ada banyak tekanan dari semua kekuatan oposisi agar pemilu dilaksanakan secepat mungkin. Untuk mengerem bersatunya gerakan yang semakin meningkat menuntut ini, maka pemerintahan Habibie dan kepemimpinan parlementer Golkar yang didukung ABRI telah menyetujui adanya sebuah jadwal pemilu. Mereka mengatakan bahwa selama waktu menjelang akhir 1998, peraturan perundangan yang baru untuk mengatur pemilu dan partai politik (parpol) akan dirumuskan draft-nya, dan pemilu akan dilaksanakan sekitar tahun 1999 setelah semua mekanismenya disempurnakan.

Penjadwalan waktu ini memungkinkan rejim untuk menyusun kembali (mereorganisir) perangkat-perangkat politik mereka sendiri. Para pemimpin Golkar sendiri telah mengatakan bahwa mereka sedang mempersiapkan ÒmereformasiÓ partai tersebut dan membangunnya kembali sebagai Partai Karya Indonesia. Para pemimpin SPSI (serikat pekerja bentukan Orde Baru) pun telah menyatakan akan mendirikan sebuah partai pekerja.

Rejim pun kini berupaya keras untuk tetap memegang kendali pada persoalan berapa banyak dan macam apa parpol-parpol yang boleh berdiri. Menteri Dalam Negeri, Jendral Syarwan Hamid (yang dulu paling gencar melakukan kampanye untuk membungkam PRD), telah menyatakan bahwa harus ada pembatasan jumlah parpol yang boleh berdiri. Dia juga menyatakan bahwa parpol-parpol baru itu harus berdasarkan ideologi negara, Pancasila, dan tidak boleh melakukan kegiatan politik praktis, termasuk mengorganisir dukungan massa, sampai Undang-Undang yang baru berlaku.

Syarwan Hamid juga mengatakan bahwa tidak perlu mencabut semua dari Paket 5 UU Politik 1985, melainkan cukup menyempurnakan (merevisi) Undang-Undang yang mengatur masalah pemilu serta susunan-kedudukan anggota DPR/MPR.

Habibie secara samar-samar menyatakan bahwa sebuah parpol mungkin harus memenangkan 10 sampai 15 persen suara untuk mendapatkan kursi di DPR. Sejauh ini rejim tidak bersuara mengenai persoalan pencabutan status larangan terhadap PRD.

Sementara kepemimpinan Orde Baru berupaya untuk membatasi dan memperoleh kembali kontrol atas proses reformasi, maka kekuatan-kekuatan elit oposisi pun ternyata berusaha keras agar masyarakat mau menerima ÒreformasiÓ di bawah pemerintahan Habibie.

Ketua Muhammadiyah, Amien Rais, telah membentuk sebuah kelompok baru yang terdiri atas mantan menteri kabinet terdahulu, Emil Salim, mantan menteri dalam negeri, Jendral Rudini, dan pengacara yang dahulu selalu membela hak-hak sipil tapi kemudian menjadi pengacara perusahaan-nya Habibie, Adnan Buyung Nasution. Kelompok ini telah sering bertemu secara teratur dengan Habibie.

 

Oposisi Loyal

Menindaklanjuti pertemuan pertama, yang ketika itu Habibie sepakat untuk menyebutkan pelaksanaan pemilu Òsesegera mungkinÓ, Amien Rais menyerukan kepada para mahasiswa dan masyarakat untuk menghentikan demonstrasi-demonstrasi yang Òmenolak HabibieÓ. Namun demikian, setiap kali terjadi kemunduran pada pelaksanaan reformasi oleh Habibie, Amien Rais terpaksa menjadi kritis lagi -- dan selalu dengan seruan yang moderat dan otoritas yang semakin merosot.

Tokoh oposisi loyal lainnya seperti mantan gubernur Jakarta, Ali Sadikin, juga selalu plin-plan mengenai persoalan tapol. Ali Sadikin mengatakan bahwa hanya para tapol yang dituntut dan dipenjarakan karena menghina Soeharto-lah yang harus dibebaskan.

Secara umum, oposisi loyal hanya memainkan peran yang sangat terbatas dalam upaya menuntut dibebaskannya para tapol, atau pun untuk mencabut status terlarang bagi parpol tertentu, misalnya PRD.

 

Oposisi Militan

Selain upaya-upaya me-moderasi rakyat tersebut, bagaimanapun juga tekanan sosial untuk tetap melakukan konfrontasi dengan keseluruhan struktur politik Orde Baru terus berkembang.

Proses ÒreformasiÓ sekarang ini terjadi dalam konteks krisis ekonomi dan sosial yang sangat mendalam. Harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak, obat-obatan semakin sulit didapat, dan PHK terus berlanjut.

Kerusuhan-kerusuhan kembali terjadi di Sumatra pada tanggal 27 Mei, dan di Sulawesi pada tanggal 28 Mei. Di Surabaya, sekitar 3000 mahasiswa menduduki salah satu gedung pemerintah selama tiga hari sejak tanggal 26 Mei. Mereka menuntut segera diselenggarakan Sidang Istimewa MPR.

Baik rejim maupun oposisi loyal telah menyepakati syarat-syarat untuk dicairkannya pinjaman dana dari IMF. Jika dana pinjaman tersebut dicairkan, kejatuhan beberapa perusahaan besar di Indonesia mungkin bisa ditahan sementara, namun penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai ke tingkat negatif (minus) nampaknya mustahil untuk dicegah.

Dalam konteks ini, kebencian rakyat terhadap fakta adanya kekayaan para pejabat Orde Baru yang bertumpuk-tumpuk adalah hal sentral yang tak kenal kompromi. Telah terjadi demonstrasi-demonstrasi yang menuntut agar Soeharto diadili, dan kekayaannnya diteliti. Dan tuntutan PRD agar perusahaan-perusahaan milik kroni Soeharto dinasionalisasi kini juga diangkat oleh kelompok-kelompok lain.

Karena khawatir tuntutan ini juga akan ditujukan kepada dirinya, maka Habibie menyuruh saudara dan putranya untuk mengundurkan diri dari posisi mereka baik di pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan yang sebelumnya selalu mendatangkan keuntungan (profit) besar.

Sejak tanggal 20 Mei, demonstrasi-demonstrasi oleh sayap radikal dari gerakan mahasiswa terus berlanjut. Di Solo pada tanggal 29 Mei, para mahasiswa menduduki gedung DPRD dan demonstrasi-demonstrasi terus terjadi di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Lampung, Padang, dan Banda Aceh. Terjadi tekanan yang semakin meningkat dari gerakan mahasiswa di kota-kota tersebut kepada gerakan di Jakarta untuk kembali melakukan mobilisasi massa menentang Habibie.

Pada tanggal 29 Mei, sekitar 400 mahasiswa kembali mendatangi gedung DPR/MPR di Jakarta dan dihadang oleh tentara dan tank-tank. Para mahasiswa itu berseru: ÒTurunkan Habibie sekarang!Ó Di hari yang sama, para mahasiswa di Universitas Indonesia menggaungkan protes-protes baru, dan di kampus-kampus lain di Jakarta, spanduk-spanduk dipasang dengan bunyi tulisan: ÒHabibie adalah anak asuh Soeharto, reformasi belum selesai!Ó

Semua demonstrasi di kota-kota propinsi menuntut segera diselenggarakannya Sidang Istimewa untuk menurunkan Habibie dan membentuk suatu pemerintahan sementara (provisional) dengan tugas tunggal untuk melaksanakan pemilu yang bebas dan adil.

Tuntutan untuk diadakannya Òreformasi totalÓ yang dipelopori oleh kekuatan-kekuatan non-Orde Baru kini muncul sebagai tuntutan kunci sayap radikal gerakan oposisi. Dengan adanya kenyataan para tokoh oposisi loyal yang selalu Òplin-plan", sehingga mendukung rejim untuk bergerak lambat dalam hal reformasi, maka penguatan sayap oposisi radikal akan menjadi kunci untuk mengkonsolidasi hasil-hasil perjuangan gerakan massa yang telah diraih, dan mencegah berbaliknya situasi (atau bahkan yang terburuk adalah munculnya kembali Soeharto sebagai pemimpin rejim).

 

Organisasi

Ledakan mendadak gerakan mahasiswa setelah ABRI membunuh enam mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei, telah menyebabkan perubahan situasi politik yang sangat luas, khususnya di Jakarta.

Banyak mahasiswa masih melihat peranannya sebagai Òkekuatan moralÓ dan menentang diasosiasikannya gerakan tersebut dengan organisasi politik tertentu. Sejumlah kelompok baru telah muncul, yang menyatakan pandangan seperti ini, bahkan ketika mereka mendukung dibentuknya sebuah pemerintahan sementara (provisional) non-Orde Baru.

Dengan situasi gerakan yang relatif tidak jelas, kini ada tiga organisasi utama yang bergerak. Ketiga organisasi tersebut adalah Pusat Informasi dan Jaringan Aksi Reformasi (PIJAR), Aliansi Demokrasi Rakyat (ALDERA), dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Meskipun kekuatan organisasional PRD masih terhambat oleh status larangan dari rejim (terbukti dari tidak dilepaskannya tapol PRD), namun ia adalah satu-satunya organisasi yang terus membangun dirinya dengan basis secara nasional, dan basis program yang jelas. Perekruitan aktivis-aktivis baru PRD mengalami percepatan selama bulan-bulan terakhir.

Seiring makin parahnya krisis ekonomi dan sosial, maka perjuangan untuk menyediakan kepemimpinan organisasional untuk tahap-tahap berikutnya dari kebangkitan di Indonesia akan semakin serius. Pada saat sekarang ini, satu-satunya organisasi dengan strategi yang konsisten memperkuat dan mengorganisir perlawanan grassroot adalah PRD.

Namun demikian, perjuangan PRD bagi kepemimpinan politik kini ditempuh dalam suatu situasi dimana oposisi loyal dan kelompok-kelompok yang tuntutannya hanya berhenti pada slogan Òreformasi totalÓ memiliki lebih banyak kesempatan di media massa untuk mengkampanyekan ide-ide mereka, dan juga mendapatkan otoritas dari manuver-manuver ÒreformasiÓ rejim.

Dalam situasi seperti ini, dukungan internasional, khususnya bantuan materi, untuk PRD menjadi prioritas yang utama. Hasil-hasil yang diperoleh rakyat selama bulan Mei akan segera sirna jika gerakan massa ter-de-mobilisasi.

Potensi untuk menyapu bersih keseluruhan struktur Orde Baru tetap besar, terutama jika kekuatan-kekuatan demokratik radikal di Indonesia mampu memperkuat diri selama bulan-bulan ke depan.

Transformasi PRD dari sekelompok kecil aktivis yang mampu memobilisasi puluhan ribu buruh dan mahasiswa di Òwilayah-wilayah yang bergeloraÓ menjadi sebuah partai massa yang mampu memobilisasi ratusan ribu rakyat di seputar Indonesia, dalam perjuangan yang militan untuk meraih demokrasi sepenuh-penuhnya, semakin jelas menjadi agenda jangka pendek jika dibandingkan dengan situasi sebelumnya.

PRD telah memimpin rakyat memecah kebekuan politik dengan kerja-kerjanya yang tak kenal menyerah dalam mempopulerkan aksi massa. Ketepatan strategi ini dipertegas dengan mobilisasi tanggal 20 Mei yang memaksa Soeharto mundur dan para penguasa Orde Baru terpaksa berpura-pura mendukung reformasi dengan membuat beberapa konsesi yang walaupun kecil, namun bisa memperlemah sistem mereka sebagai suatu keseluruhan.

Tahap berikutnya adalah memajukan kemenangan-kemenangan itu, dan menarik pelajaran bagaimana kemenangan tersebut diraih, untuk merebut kemenangan-kemenangan baru dari rejim. Selama tahap ini, dukungan dari aktivis-aktivis progresif di Australia adalah vital.

Max Lane, Koordinator ASIET (Australian Solidarity with Indonesia and East Timor)

-o0o-

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi] [ke halaman berikut]