Mimbar - ii

 

MANIFES KEDAULATAN RAKYAT

(Bagian I)

Oleh: Soebadio Sastrosatomo

 

Pengantar

Jauh-jauh pada bulan Januari 1997, saya berkata kepada segenap rakyat Indonesia bahwa kita sedang berada dalam vacum kepemimpinan. Yang ada sekarang bukanlah pemimpin melainkan penguasa, kedaulatan rakyat sudah beralih ke tangan satu orang -- sdang penguasa itu, dan apa yang dianggap sebagai sukses pembangunan ekonomi Suharto tidak lain adalah neo-kolonialisme.

Peringatan itu saya tuangkan dalam buku kecil berjudul ÒERA BARU PEMIMPIN BARU --BADIO MENOLAK REKAYASA REZIM ORDE BARIÓ (Januari 1997), karena saya melihat bahwa selama kekuasaan rezim Orde Baru seluruh kehidupan masyarakat dari pemilu satu ke pemilu lain sudah tidak lain daripada rekayasa-rekayasa politik penguasa untuk pelestarian kekuasaannya. Kejaksaan Agung memberangus buku itu dan skretari saya ditahan dijadikan terdakwa; sementar proses pengadilan sdr. Buyung R.B. Nasution masih berjalan, saya pun resmi dijadikan terdakwa sampai detik ini dengan tuduhan menghina Presiden Suharto.

Sebulan setelah memuncaknya krisis-ekonomi moneter yang menghempaskan rupiah kita sampai Rp.15.000 per satu dollar Amerika, pada 10 februari 1998 - masih dalam status terdakwa oleh Kejaksaan Agung - saya menulis satu uraian lanjutan dalam satu buku kecil juga berjudul: ÒPOLITIK DOSOMUKO ORDE BARU - RAPUH DAN SENGSARAKAN RAKYATÓ. :Lagi-lagi Kejaksaan Agung --yang tidak bisa membedakan antara negara dan pribadi Suharto- memberangus buku saya itu dalam keputusannya bertanggal 22 april 1998.

ketika para pemuda dan mahasiswa mendatangi saya pada hari Minggu 5 Januari 1997 dan meminta supaya saya tampil memimpin Rakyat Indonesia, maka ketika itu saya mengatakan saya takut menolaknya. Sekarang pun, di tengah-tengah puncaknya multi krisis - krisis-ekonomi menoeter, krisis pangan, krisis kepercayaan, krisis kredibilitas kepemimpinan - saya tetap takut untuk menolaknya. Oleh karena itu jangan mengharapkan dari saya - lebih-lebih pada saat berhadapan dengan Rakyat, pemuda dan mahasiswa - untuk berbicara tidak jujur dan tidak terbuka tentang situasi yang sekarang kita hadapi. Jangan mengharapkan dari saya kemunafikan dengan selubung demi Òbudi dan budaya luhur bangsaÓ, sebab kebenaran adalah tetap kebenaran, dan kesalahan adalah tetap kesalahan. Kita harus terbuka mengenai kebenaran maupun kebatilan. Call a spade a spade, kata orang Inggris. Panggillah si Polan pada namanya, bila namanya Ujang ya panggil dia Ujang - tak usah basa-basi dan bermunafik-munafikan terhadap kesalahan dan kebatilan.

 

Perubahan semu!

Kepada seluruh rakyat Indonesia, khususnya kepada pemuda dan mahasiswa penggerak utama reformasi sosial-politik Indonesia, saya menyerukan: ÒJangan puas diri! - Jangan terkecoh oleh berhentinya Suharto sebagai presiden!Ó

Apa yang sedang terjadi sekarang adalah suatu perubahan semu, akal-akalan Suharto bersama antek-anteknya untuk dengan segala cara berupaya memepertahankan jaringan kekuasaan rejim Orde Baru di segala bidang, yaitu kekuasaan Suharto bersama anak-anaknya dan konco-konconya yang selama tiga dekade telah menyengsarakan rakyatdan menyeret seluruh negeri ke puncak krisis ekonomi-moneter dengan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme tanpa malu sambil berdalih-dalih melaksanakan Òpembangunan ekonomiÓ.

Kepada seluruh Rakyat Indonesia, khususnya para pemuda dan mahasiswa penggerak utama regformasi sosial-politik Indonesia, saya mengingatkan agar tetap memiliki pandangan politik yang tajam dan jernih untuk bisa membedakan mana yang semu dan munafik, serta mana yang sejati dan azasi.

Dengan minggirnya Suharto, KEDAULATAN RAKYAT sama sekali belum pulih ke tangan rakyat. KEDAULATAN RAKYAT sampai detik ini masih tetap dikangkangi oleh anthek-anthek (cronies) Suharto, seperti B.J. Habibie, Feisal Tanjung, Harmoko, Abdul gafur dan lain-lain. KEDAULATAN RAKYAT masih tetap berada di tangan orang-orang yang selama ini menjalankan produk-produk artifiasial hasil rekayasa politik rezim Suharto yang celaka itu. Dalam hal ini seacra khusus harus disebut Golkar yang kerjanya menipu rakyat dengan cara merekayasa seluruh kehidupan masyarakat, seluruh kelembagaan birokrasi dan non-birokrasi, orpol dan ormas-ormas yang dia bangun semasa rejim Orde Barunya itu.

Kita sama sekali belum memasuki periode Òpasca SuhartoÓ yang sesungguhnya, kita masih tetap dalam era Suharto! Bedanya : figur Suharto tidak tampil dipermukaan, namun seluruh pranata dan wawasan sosial-politik-ekonomi dan hukum rezim Suharto msih tetap utuh berikut personalia intinya yang masih tetap dipegang orang-orang lama dari zaman suharto. ÒReformsi-reformasiÓ yang dilakukan masih berat kosmetik daripada substansinya.

Tanpa figur Suharto, lembaga eksekutif masih tetap dipegang orang-orang Suharto paling setia seperti B.J. Habibie. Feisal Tanjung, Syarwan Hamid dengan perpanjangan tangan mereka di daerah, yaitu para gubernur seperti antara lain Basofi Sudirman, Ida Bagus Oka (sekarang jadi menteri), Suwardi dan lain-lain. Pimpinan lembaga legislatif pun masih utuh dipegang oleh tokoh-tokoh katrolan yang mendadak menjadi politikus dalam jenjang elit Orde Baru seperti Harmoko, Abdul Gafur dan fatimah Ahmad, sedangkan lembaga yustisi diisi penuh oleh haklim dan jaksa yang kerjanya hanya manut kepada apa yang dikenhendaki oleh pimpinan eksekutif Orde Baru, mengobral tuduhan subversif kepada setiap orang yang berpendapat dan berfikir lain daripada penguasa, membredel buku dan mass-media. Dari orang-orang dan pranata seprti itukah kita harapkan pelaksanaan reformasi politik, ekonomi dan hukum secara mendasar dan substansial?

Pada kesempatan ini saya merasa perlu menyampaikan imbauan khusus kepada kawan-kawan seperjuangan di dalam ABRI, mitra rakyat yang berfungsi sebagai penjaga dan oekindung keamanan negara dan rakyat.

Cukup lama ABRI diselewengkan oleh segelintir oknum-oknum perwira tinggi yang berkelakuan seperti satpam perkantoran - setia membabi-buta kepada tuannya. Oknum-oknum perwira tinggi ini tidak bisa membedakan antara negara dan pribadi, antara presiden cq. Negara Republik Indonesia dengan Suharto sebagai pribadi. Dalam sikap yang keliru itu, mereka telah membawa-bawa dan menyeret seluruh naman ABRI ke dalam lumpur. Segelintir perwira tinggi itu dengan legitimasi Òdwifungsi ABRIÓ telah melaksanakan dengan setia berbagai perintah ÒpresidenÕ, yang dalam kenyataan tidak lain adalah melaksanakan manuver-manuver politik pribadi dan selera-selera individual Suharto dengan Golkarnya, sedangkan orang-orang Golkar sendiri ramai-ramai gonceng kepada Suharto. Oknum-oknum perwira tinggi itu telah melepaskan martabat keperwiraan mereka dan mencemarkan harkat martabat ABRI hanya demi pemuasan ambisi atau imbalan jaminan pangkat dan kedudukan. Apa contohnya?

Satu contoh karena memang menjadi kasus paling kentara didalam permainan kasar dan kotor ini, adalah ketika Soeharto mengingini Megawati dilenyapkan dari pentas politik Indonesia. Itu adalah obesesi pribadi Soeharto yang sama sekali tidak ada kaitan apapun dengan kepentingan negara. Agenda politik dan kemauan pribadi Soeharto itu lantas dijadikan agenda dan program Negara dan pemerintah. Untuk itu ia melibatkan seluruh struktur birokrasi dan para pejabat negara, menteri dan para pcuk pimpinan ABRI - semua lantas menari dan menyanyi menurut gendang ÒkonstitusionalÓ Soeharto yang berdalih ÒkonstitusionalÓ demi kepentingan Negara, UUDÕ45 dan Pancasila.

Maka kongres PDI di Medan pun mulailah bergulir, berkelanjutan dan memuncak di Jakarta dengan penyerbuan Kantor Pusat PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996! Pelaksana-pelaksana project pribadi Soeharto ini pun terlalu gamblang sekali : Jenderal Faisal Tanjung, Jenderal Syarwan Hamid, Mendagri Yogi S. Memet yang memakai legitimasi sebagai Òpembina politik dalam negeriÓ dengan Fatimah Achmad. Butu Hutapea dan Suryadi cs sebagai atek-antek yang meneyediakan diri untuk dipakai dengan imbalan kedudukan. Selanjutnya memanipulasi politik yang dimulai di Medan itu juga diseling dengan adegan-adegan di Surabaya yang perekayasaannya dikendalikan oleh Gubernur Basofi Sudirman sebagai Òpembina politikÓ di daerah. Begitulah keterlibatan beberapa oknum jenderal dalam penerapan Ôdwi fungsi ABRIÓ, mereka membaktikan loyalitasnya kepada pribadi Soeharto yang kebetulan sedang menjadi ÒPresiden/Panglima TertinggiÓ.

Di dalam praktek. ÒDwi FungsiÓ ternyata tidak lain adalah kesetiaan rancu oleh hanya beberapa gelintir perwira tinggi yang tanpa reserve menjalankan berbagai manuver dan rekayasa politik untuk memenuhi kemauan dan selera-selera politik pribadi Soeharto dengan Golkarnya - tak peduli licik dan kotor- : dan dalam manuver-manuver manipulatif itu mereka menyeret seluruh jajaran ABRI dengan legitimasi menjalankan dwifungsi ABRI, padahal Òtugas-tugasÓ itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan Negara, atau pelaksanan UUDÕ45/Pancasila. Dalam situasi seperti itu pula, beberapa jendral dadakan menjadi Òpolitikus-politikusÓ yang tampil di pentas politik mendikte bagaimana Rakyat dan Negeri ini harus diatur.

Seluruh rakyat termasuk kawan-kawan seperjuangan di dalam ABRI sekarang mestinya sudah melek mata dan menyadari betul, bahwa: Soeharto bukan Indonesia dan Indonesia bukanlah Soeharto - Soeharto bukan UUD 45/Pancasila dan UUD 45 /Pancasila bukanlah Soeharto. Kelakuan Soehartos selama ini memang selalu mengidentifikasi diri denagn Negara, dengan UUD 45 dan Pancasila (lÕetat cÕest moi!). Dalam kaitan itu, semua anak-anak dan cucu Soeharto lantas berkelakuan sekan merekalah yang punya Negara karean sang bapak adalah Negara. Menteri-menteri, para dirjen,para Gubernur, dirut-dirut bnank negara maupun swasta, para konglomerat rame-rame pata cengke menjalankan apa yang dimaui Soeharto dan anak-anak Soeharto. Cukup banyak dari mereka dengan senang hati melaksanakan segala kemauan keluarga Cendana, karena terbawa diuntungkan secara materiil, begitu pun terkatrol pangkat serta kedudukan mereka. Dengan mekanisme seperti itulah lahir oktopus rekayasa Cendana dengan sejuta tangannya yang melilit ke seluruh tubuh bisnis dan perekonomian Infdonesia, mulai dari tanker-tangker minyak sampai ke urusan SIM dan iar minum.

Perlu dicatat di sini, selain Tutut dan adik-adiknya, Soeharto juga punya satu anak angkat sangat manja dan paling istimewa: B.J.Habibie. Anak manja ini bisa menggunakan budegt Negara dan anggaran non-budgetair dengan leluasa. Dia punya gagasan ÒcemerlangÓ membangun ekonomi dan memakmurkan rakyat dengan membangun pesawat-pesawat terbang. Dengan catre-blanc dia mendapatkan bertrilyun-trilyun rupiah dari sang bapak untuk membangun IPTN dengan peralatan paling canggih yang mau menyamai pabrik pesawat terbang BOING 747 di Amerika. Anak manja ini berang dan menjadi diktator kecil ketika dikritik pers tentang produk pesawatnya, dan ÒHabibienomicsÓnya (antah apa itu!) membeli armada perang rongsokan dari Jerman Timur. satu Jenderal pun di seluruh jajaran ABRI tak bisa berkutik menghadapi diktator kecil yang digendong-gendong bapaknya, sang diktator besar. Dengan anak manja inikah kita memulai era baru, era reformasi total yang menyeluruh?

Sudah sejak awal kemunculan Habibie setelah Soeahrto menyingkir, seluruh permainan di istana tgl. 21 mei 1998 adalah hasil rekayasa akal-akalan untuk menghindari rejim Orde baru rontok total, untuk mencegah rejim Orde Baru berubah secara mendasar dan substansial. Maka yang terjadi hanyalah suatu perubahan semu, perubahan artifisial, seluruh perkembangan Orde Baru berikut tokoh-tokoh personalia intinya ternyata tetap lengkap utuh di tempat masing-masing.

Di bidang eksekutif antara lain bertengger Habibie, Faisal Tanjung dan Syarwan Hamid. Di bidang legislatif bercokol Harmoko, Fatimah Achmad dan Abdul Gafur, sedang di bidang yudikatif dari tingkat paling atassampai ker bawah kita dapati unsur-unsur corps jaksa dan hakim yang Òatas nama PsancasilaÓ kerjanya rajin mengobral tuduhan subversif kepada semua orang yang berpikiran lain daripada Soeharto, mengalahkan perkara-perkara yangmenguntungkan rakyat, semenang-wenang membredel buku dan suratkabar. Bila sejak awal, suatu pemerintahan dibangun dan memulai perjalannya dengan berbagai rekayasa, macam-macam kesemuan, kemunafikan dan kebatilan, maka dengan sendirinya semua langkah dan hasil kebijakan pemerintah seperti itu akan serba semu, munafik dan batil pula.

Cobalah ikuti! Habibi edengan kabinetnya mau secara demonstratif menunjukkan suatu gebrakan betapa dia setuju dan menjalankan reformasi.Psakpahan dan Sri Bintang pamungks lantas menjadi barang pameran, ÒShow-caseÓ atau demoetalese pembebasan tahanan politik untuk dikumandangkan ke seluruh dunia. Karena berangkat dari kesemuan dan kemunafikan, maka seluruh sandiwara pembebasan itu juga penuh dengan kesemuan dan kemunafikan. (Bersambung)

 

 

 

[kembali ke halaman menu] [kembali ke indeks edisi] [ke halaman berikut]